Nasikh dan Mansukh dalam Studi Pemahaman al-Qur’an

Oleh Dewi Asfufah


Pendahuluan
            Al-Qur’an merupakan kalam Tuhan yang sudah ditengarai sebagai kalam yang terjamin keasliannya hingga usia alam ini berakhir. Ia tetap terjaga meski tangan-tangan kotor kaum muharrifin selalu berusaha merubah kemurniannya. Namun sekian banyak usaha yang mereka lakukan selalu saja berakhir dengan kegagalan. Hal ini terbukti dengan masih terpeliharanya keotentikan Al-Qur’an sampai sekarang -berbeda dengan kitab-kitab yang lain di luar Al-Qur’an- karena disamping tangan Tuhan sendiri yang berperan langsung, disana juga terlibat hati para umat Muhammad dalam menjaga dan memelihara keasliannya dari perubahan, penggantian dan terputusnya sanad.[1] Alloh SWT. Dengan kekuasaan-Nya menjaga al-Qur’an dan menjaganya dari penyelewengan dan pemalsuan,[2]
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”.
Berbagai pembahasan dalam memahami al-Qur’an, diantaranya tentang “rasm” al-Qur’an, asbabun nuzul, makkiyah-madaniyah, muhkam mutasyabih, nasikh-mansukh dan lain sebagainya. Pembahasan di sekitar ayat-ayat nasikh dan mansukh memang dianggap begitu penting oleh para ulama, dalam hal ini tentu ulama yang berpendapat bahwa di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang nasikh dan mansukh. Karena di luar yang setuju, ada pula ulama yang tidak melihat adanya naskh dan mansukh terhadap ayat al-qur’an.
Ulama’-ulama’  klasik yang menerima  teori  penghapusan dalam Al-Quran ternyata tidak sepakat dalam menentukan ayat yang menghapus (nasikh) dan ayat yang dihapus (mansukh). Dalam beberapa keterangan  yang sampai kepada kita, disebutkan bahwa terdapat kecenderungan dikalangan ulama’ klasik untuk menekankan jumlah ayat yang dihapus hingga mencapai bilangan yang mengerikan. Ayat tentang jihat, misalnya dikatakan telah membatalkan sekitar 113 ayat yang mengandung perintah untuk bersifat sabar, pema’af dan toleran dalam keadaan tertekan. As-Suyuthi kemudian mereduksi ratusan ayat yang dinyatakan  mansukh menjadi hanya 20  ayat, sedangkan Syah Waliallah mengurangi hingga menjadi lima ayat. Melihat bagaimana ayat-ayat yang dihapus ini, makin lama makin berkurang jumlahnya seiring dengan jalannya sejarah, Sir Sayyid Ahmad Khan memproklamirkan bahwa Al Quran tidak terdapat penghapusan.[3]
Dalam makalah ini penulis mencoba membahas makna naskh dan mansukh, macam dan hikmah naskh, bagaimana cara mengetahuinya, pendapat ulama tentang naskh mansukh dan hubungan naskh dengan sabab an-nuzul dalam penafsiran al-qur’an, meskipun tidak secara mendalam. Dengan ini, diharapkan kita dapat mengetahui ilmu nasakhdalam memahami isi al-Qur’an.

 Pengertian Nasikh dan Mansukh
     Pembatalan atau penggantian hukum, baik dengan menghapuskan, dan menghilangkan teks yang menunjuk hukum dari bacaan atau membiarkan teks tersebut dinamakan naskh. Hukum yang diangkat dinamakan mansukh, sedang dalil yang menghapus dinamakan nasikh.[4]Makna Nasikhsecara etimologi memiliki beberapa makna, di antaranya al-izalah wa al-I’dam (menghapus atau menghilangkan), at-Taghyir wa al-Ibtal wa Iqomah ash-Shai’ Maqomahu (mengganti atau menukar), at-Tahwil ma Baqa’ihi fi Nafsihi/at-Tabdil (memalingkan/memindahkan), dan an-Naql min Kitab ila Kitab (menyalin/mengutip).[5]
Adapun dari segi terminology, para ulama’ mendefinisikan nasikh, terjadi perbedaan redaksi, walaupun demikian  tatapi dalam  pengertian masih sama yakni “ رفع الحكم الشرعي بخطاب شرعي" (menghapus hukum syara’ dengan dalil syara’ lain). dalam kata lain nasikh ialah menggantikan hukum dengan memakai dalil syara’ yang datang kemudian, dengan adanya tenggang waktu.Jadi kalau tidak ada nasikh itu, tentulah hukum yang pertama akan tetap berlaku.
Para ulama mutaqaddimin (abad 1-3 H) memperluas arti nasikh sehingga mencakup; (a) pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian; (b) pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian; (c) penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar; (d) penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.[6]Para ulama muta’akhirin mempersempit pengertian nasakh, sebagaimana diungkapkan Qurasy Shihab :” nasakh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan, mencabut atau menyatakan berakhirnya pemberlakuan hukum yang terdahulu, hingga ketentuan hokum yang ditetapkan terakhir”.[7]
            Nasikh dalam istilah ushul yaitu membatalkan perbuatan hukum syar’i dengan dalil.[8]Ulama pertama yang membahas masalah nasikh-mansukh adalah Imam Syafi'i, walaupun saat itu beliau membahasnya dalam kajian sebagai penjelasan dalam memperoleh hukum.[9]
            Makna Mansukh secara etimologi berarti sesuatu yang diganti.Secara termonologi berarti hukum syara’ yang menempati posisi awal, yang belum diubah dan belum diganti dengan hukum syara’ yang datang kemudian.[10] Arti nasikh-mansukh dalam istilah fuqoha’ antara lain ; pertama, membatalkan hukum yang telah diperoleh dari nas yang telah lalu dengan suatu nas yang baru datang. Seperti cegahan terhadap ziarah kubur oleh nabi, lalu nabi membolehkannya.Kedua, Mengangkat nas yang umum, atau membatasi kemutlakan nas, seperti QS. Al-baqarah : 228 dengan QS. Al-ahzab : 49.          
Macam dan hikmah naskh
            Macam-macam Naskh dalam al-Qur’an memiliki tiga pola.Pertama, ayat yang teksnya di-Naskh, namun hukumnya tetap berlaku. Seperti hukum rajam dari riwayat Umar bin Khattab dan Ubai bin Ka’ab ;
كان في ما أنزل من القرآن الشيخ والشيخة إذا زنيا فارجموهما البتة نكالا من الله.
“Termasuk di dalam bagian hukum yang pernah tertuang di dalam al-Qur’an adalah apabila seorang laki-laki dan perempuan yang telah sama-sama punya istri dan suami melakukan perzinaan, maka rajamlah mereka, sebagai hukuman dari Alloh”.
Kedua, ayat yang hukumnya di-naskh, namun teksnya masih tetap.Dan inilah satu-satunya pola yang disepakati.Dasar pertimbangan naskh adalah kronologi turunnya bukan urutan pembacanya.Contoh ; Q.S.al-Baqarah : 240 (mansukh)
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ ۚ فَإِنْ خَرَجْنَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِي مَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ مِنْ مَعْرُوفٍ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaiyu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya).Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma’ruf terhadap diri mereka.Dan Alloh maha perkasa lagi maha bijaksana.”
Yang me-naskh adalah Q.S.al-baqarah: 234:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ۖ فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para itri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut.Alloh mengetahui apa yang kamu perbuat.”
Ketiga, ayat yang teks dan hukumnya sekaligus di-naskh. Dalil yang menunjukkan terjadinya pola ini adalah hadits sama’i yang bersumber dari Aisyah H.R. Muslim :
كان فيمآ أنزل عشر رضاعات معلومات يحرمن بخمس معلومات فتوفى رسول الله عليه وسلم وهن مما يقرأ من القرآن.
“pernah diturunkan ayat tentang hukum 10 kali susuan yang ditentukan, maka ia menyebabkan menjadi muhrim, lalu ia diganti hukumnya dengan 5 kali susuan yang di tentukan, lalu Roslulloh saw. Wafat. Hukum tersebut pernah menjadi bagian dari yang terbaca dalam al-Qur’an.”
Menurut mayoritas ulama bahwa riwayat tersebut termasuk ahad.[11]
Mustafa Zayd memberikan komentar terhadap tiga kriteria yang dikemukakan para ulama ushul di atas, bahwa pertentangan antara hukum yang di nasikh hanyalah sebatas pertentangan lahiriah saja, bukan pertentangan hakiki.Bagi Mustafa Zayd ketidaksamaan masa berlakunya hukum dalam ayat-ayat yang nasikh dan ayat-ayat yang mansukh (sesuai dengan kronologi pewahyuannya di mana pesan hukum yang nasikh membatasi masa berlakukanya hukum yang terdahulu) menunjukkan bahwa antara kedua hukum itu hanya bertentangan secara lahiriah, bukan secara hakiki.[12] Begitu  juga dikemukakan oleh Abd al-Wahab Khalaf, menurutnya tidak ada nasikh pada hukum syar’i setelah meninggalnya Nabi SAW. Adapun pada masa hidupnya nasikh dihajatkan sejalan dengan kemaslahatan umat.[13]
Hikmah secara umum untuk menunjukkan bahwa syari’at islam adalah syari’at yang paling sempurna. Selalu menjaga kemaslahatan umat manusia. Menjaga agar perkembangan hukum Islam selalu relevan dengan semua situasi dan kondisi umat yang mengamalkan dan mengaktualkan. Menguji kualitas keimanan umat manusia. Menambah kebaikan bagi umat manusia yang mmau mengamalkannya dalam segala kondisinya.memberi dispensasi dan keringanan bagi umat manusia. Serta menjaga kemaslahatan manusia.
Adapun manfa’at nasakh mansukh adalah agar pengetahuan tentang hukum tidak menjadi kacau dan kabur, sebagaimana perkataan Ali ra. Kepada seorang hakim :
أتعرف الناسخ والمنسوخ قال : هلكت وأهلكت .
Diriwayatkan, Ali pada suatu hari melewati seorang hakim lalu bertanya : apakah kamu mengetahui Naskh dan Mansukh , “tidak” jawab hakim itu, maka kata Ali “celakalah kamu, dan kamu mencelakakan orang lain.[14]
Al-Maraghi menyatakan bahwa nasakh dan masukh itu ada hikmah-hikmahnya, lanjut tegasnya :
Hukum-hukum tidak akan diundangkan kecuali untuk kemaslahatan mausia dan hal ini berubah atau berbeda akibat perbedaan waktu dan tempat sehingga apabila ada hokum yang diundangkan pada suatu waktu karena adanya kebutuhan yang mendesak kemudian kebutuhan itu berakhir, maka hal itu merupakan tindakan bijaksana apabila hokum yang diundangkan tersebut dinasakh (dibatalkan) dan diganti dengan hokum yang sesuai dengan waktu tersebut, sehingga dengan demikian hokum iitu akan jadi lebih baik dari hukum semula atau sama dari aspek manfaatnya untuk hamba-hamba Alloh”.[15]
Cara mengetahui adanya Nasikh dan Mansukh
            Ibnu Hishor berkata: “Rujukan nasakh itu bersumber dari riwayat yang jelas dari Rosululloh saw. Atau dari seorang sahabat yang berkata; ayat ini menasakh ayat ini “. Dia juga berkata: “ dan kadang-kadang dinyatakan sebagai nasakh ketika terjadi kontradiksi yang jelas bersumber dari sejarah, agar diketahui mana yang lebih dahulu dan mana yang kemudian”.
Beberapa syarat untuk menentukan terjadinya nasikh dan mansukh antara lain :
1.      Bila ada dua ayat hukum yang nampaknya saling kontradiksi dan tidak dapat dikompromikan.
2.      Harus diketahui secara meyakinkan perurutan turunnya ayat-ayat tersebut, sehingga ayat yang lebih dahulu di tetapkan sebagai mansukh, dan ayat yang turun kemudian menjadi nasikh
Untuk mengetahui ketentuan dalil yang turun terdahulu atau yang turun kemudian antara lain:
1.      Dalam salah satu dalil nasnya harus ada yang menentukan turunnya lebih belakangan dari dalil yang lain.
2.      Harus ada kesepakatan (konsesus ijma’) para imam dalam suatu masa yang menetapkan bahwa salah satu dari dua dalil itu datang lebih dahulu dan yang lain datang kemudian.
3.      Harus ada riwayat shahih dari salah seorang sahabat yang menentukan mana yang lebih dahulu dari kedua dalil nas yang yang saling bertentangan
Beberapa ulama berkata tentang surat-surat al-Qur’an ditinjau dari yang nasikh dan yang mansukh dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu ; pertama, bagian yang di dalamnya tidak ada nasikh dan tidak ada mansukh. Ini terdiri dari 43 surat, yaitu : surat al-Fatihah, Yusuf, Yasiin, al-Hujurat, ar-Rahman, al-Hadid, as-Shaff, al-Jum’ah, at-Tahrim, al-Mulk, al-Haqqah, Nuh, al-Jin, al-Mursalat, ‘Amma, an-Nazi’at, al-Infitar, dan tiga surat sesudahnya, al-Fajr sampai akhir al-Qur’an, kecuali surat at-Tin, al-‘Asr dan al-Kafirun. Kedua, bagian yang di dalamnya ada nasikh da nada mansukh, yaitu sebanyak 25 surat, yaitu : al-Baqarah, dan tiga surat sesudahnya, al-Hajj, an-Nur dan surat berikutnya, al-Ahzab, Saba’, al-Mu’min, Syura, Adz-dzariat, ath-Thur, al-Waqi’ah, al-Mujadilah, al-Muzammil,, al-Mudatsir, at-Takwir, dan al-‘Asr. Ketiga, bagian yang di dalamnya ada nasikh saja, berjumlah 6 surat, yaitu : Surat al-Fath, al-Hasyr, al-Munafiqun, at-Taghabun, ath-Thalaq, dan al-A’la. Keempat, bagian yang di dalamnya hanya ada mansukh saja, ada 40surat yang tersisa.[16]
Nasakh tidak dapat ditetapkan berdasarkan ijtihad, pendapat mufassir, atau keadaan dalil-dalil yang secara lahir tampak kontradiktif.[17] Ibnul Hishor berkata: “ dan tentang nasakh ini, pendapat dari kebanyakan ahli tafsir tidak dapat dijadikan sebagai rujukan, dan juga tidak ijtihad dari mujtahidin, jika tidak diiringi dengan riwayat yang jelas dan tidak ada kontradiksi yang jelas. Karna nasakh itu bermakna menghapuskan suatu hukum yang telah tetap dan menetapkan suatu hokum baru yang telah tetap pada masa Rosululloh saw. Jadi yang dapat dijadikan pedoman adalah riwayat dan sejarah, bukan pendapat dan ijtihad.”
Para ulama dan ahli usul sepakat, bahwa nasakh hanya terjadi pada ayat amar (perintah) dan nahi (larangan) hatta amar dan nahi itu dalam bentuk khabar (kalimat berita) yang mempunyai pesan thalab (permintaan).Sementara pada kalimat berbentuk khabar yang bukan bermakna thalab, nasakh tidak terjadi. Termasuk kategori ayat yang tak terkena nasakh ini: janji (wa’d), ancaman (wa’id) dan cerita-cerita mengenai berbagai umat.[18]
Persamaan dan perbedaan naskh dengan takhsis
Naskh adalah langkah mengupas atau menghilangkan hukum syari’at tertentu dengan hukum syari’at lainnya, sedangkan takhsis adalah upaya membatasi sesuatu hanya pada sebagian dari bagian-bagian yang ada.[19]
Untuk persamaan naskh dengan takhsis ada tiga hal,[20] antara lain ; pertama, sama-sama memberi batasan ketentuan hukum, Naskh memberi batasan waktu, sedang takhsis memberi batasan materi. Kedua, sama-sama memberi batasan berlakunya suatu ketentuan hukum syara’.Dan ketiga, sama-sama berupa dalil syara’. Sedangkan untuk perbedaannya ada lima hal,[21] antara lain ;
1.      Lafal ‘am setelah ditakhsis akan menjadi samar jangkauannya, karena bentuknya masih tetap umum. Sedang lafal dalil yang telah dimansukh sudah tidak berlaku lagi, sehingga sudah jelas jangkauannya telah terhenti. Contoh ; ketentuan QS. Al-Mujadalah : 12 telah tidak berlaku lagi karena telah ada ketentuan baru dalam QS. Al-Mujadalah : 13.
2.      Ketentuan hukumnya sejak semula sudah dikecualikan dengan takhsis, sedang ketentuan hukum yang dimansukh, pada mulanya dikehendaki dan diberlakukan untuk beberapa sa’at, tetapi setelah ada perubahan situasi dan kondisi yang terjadi, maka ketentuan hukumnya dimansukh. Contoh takhsis ; QS. Al-‘Asr, contoh mansukh ; QS. Al-Ahzab : 52. Yang menjelaskan larangan nabi saw. Telah dilarang, dan telah berlaku beberapa waktu lamanya, tetapi karena sering terjadi peperangan yang menyebabkan banyaknya sahabat yang gugur, sehingga banyak janda yang terlantar, maka turunlah ayat yang menasikhnya, yaitu QS. Al-Ahzab : 50.
3.      Naskh membatalkan kehujjahan hukum yang dimasukh, sedangkan takhsis tidak membatalkan, melainkan hanya membatasi jangkauannya saja, sedang ketentuan hukumnya tetap berlaku bagi yang tidak dikecualikan dengan pembatasan.
4.      Nasikh tidak dapat terjadi kecuali dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, sedang takhsis bisa saja terjadi dalam al-Qur’an, as-Sunnah, ataupun dalam  hukum lain di luar hukum keduanya.
5.      Naskh itu dalil nasikhnya harus datang kemudian setelah ketentuan dari dalil yang pertama itu berlaku terlabih dahulu, lalu dihapuskan. Sedang dalam takhsis, dalil yang mentakhsis (mukhossis)nya boleh datang bersamaan dengan dalil yang ditakhsis. Contoh ; QS. Al-‘Asr, QS. Al-Baqarah : 228 dengan 237.

Pendapat ulama tentang nasikh mansukh
            Jumhur ulama’ sebelum Abu Musa al-Asfahany (wafat 322 H.) mengakui adanya nasakh dan mansukh dalam al-qur’an, sebagai alternative dalam menghadapi ayat yang kelihatannya memiliki kontradiksi.Menurut mereka ayat nasakh dan mansukh tetap berlaku, akan tetapi segi hukum yang berlaku menyeluruh hingga waktu tertentu tidak dapat dibatalkan kecuali oleh syar’i.[22]dalil yang mereka gunakan adalah surat al-baqoroh ayat 106
مَا نَنْسَخْ مِنْ أيَةٍ أَوْ نُنْسِهَانَأْتِ بِخَيْرٍ مَنْهآ أَوْ مِثْلِها  (البقرة : 106)
“ Ayat mana saja yang kami nasakhkan atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan ayat yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya”.
Sementara Abu Muslim (sebagai seorang ulama ahlitahqiq) tidak membenarkan nasikh dalam arti umum. Beliau membatalkan beberapa macam nasikh, yang menurut pendapatnya bertentangan dengan al-Qur’an surat Fushilat ayat 41
 “ tidak datang kepadanya kebathilan al-Qur’an baik dari depan atau belakang yang diturunkan dari sisi Tuhan yang maha bijaksana lagi maha terpuji.”
Ayat tersebut menjadi landasan bagi Abu Muslim untuk menyatakn bahwa Naskh mansukh tidak ada dalam al-Qur’an, yang ada hanya ‘Am takhsis.Jadi, Menurutnya “nasikh adalah takhsis”.Hal ini beliau katakan untuk menghindari adanya pembatalan sesuatu hukum yang telah Alloh turunkan. Sebab jika ada pembatan hukum yang telah diturunkan-Nya berarti akan muncul dua pemahaman paling kurang, yaitu :
1.      Alloh tidak tahu kejadian yang akan datang, sehingga Dia perlu mengganti/membatalkan suatu hukum yang lain.
2.      Jika itu di lakukan Alloh, berarti dia melakukan kesia-sian dan permainan belaka.[23]
Muhammad Abduh yang juga menentang konsep nasikh mansukh menolak nasikh dalam arti pembatalan, tetapi ia menyetujui adanya tabdil. Begitu juga Abu Muslim al-Ashfahani, lebih suka menyebut nasikh dengan istilah takhsis.Namun lama yang tidak sependapat dengannya memberi alasan bahwa nasikh sangat berbeda pengertian dengan takhsis.Takhsis sangat membatasi keumuman sesuatu hanya pada bagian-bagiannya, dan pembatasan seperti itu tidak benar-benar mencabut beberapa dari ketetapan hukumnya.[24]
Abu Musa berpendapat bahwa hukum Tuhan yang dibatalkan bukan berarti bathil. Sesuatu yang dibatalkan penggunaannya karena adanya perkembangan dan kemaslahatan pada suatu waktu bukan berarti yang dibatalkan itu tidak benar ketika berlaku pada masanya, dengan demikian yang membatalkan dan yang dibatalkan keduanya adalah hak dan benar, bukan bathil.[25]
Menurut pendapat sebagian ahlitahqiq, al-Qur’an menggunakan lafald nasikh di segala tempat, adalah sesuai dengan maknanya yang asli hakiki yang hanya itulah makna yang terguris di dalam dada masing-masing manusia. Oleh karenya, menafikkan nasikh dengan perkataan”raf’ul hukmy syar’iyi bi dalili syariyah atau mengangkat sesuatu hukum syar’i dengan dalil syar’i adalah tahdid istilahi yang paling tepat dengan lafadz ini, yang sesuai dengan bahasa arab yang menetapkan bahwasanya nasikh itu bermakna “menghilang dan mengangkat ke tempat lain.”[26]
Ibnu Katsir, dalam rangka membuktikan kekeliruan orang-orang Yahudi, yang mempertahankan, ajaran agama mereka dan menolak ajaran Islam dengan dalih tidak mungkin Tuhan membatalkan ketetapan-ketetapannya yang termaktub dalam Taurat, menyatakan,
“Tidak ada alasan yang menunjukkan kemustahilan nasikh atau pembatalan dalam hukum-hukum Allah, karena Dia (Tuhan) menetapkan hukum sesuai dengan kehendak-Nya dan melakukan apa saja yang diinginkan-Nya”. Pendapatini mendapat pembenaran dari al-Qur’an, surah al-Baqarah, ayat 106, yang terjemah harfiah-nya adalah:
Kami tidak menasikhkan satu ayat atau Kami menjadikan manusia lupa kepadanya, kecuali Kami mendatangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding.Apakah kamu tidak mengetahui sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.”
Hubungan Naskh dan sabab an-nuzul dalam penafsiran al-qur’an.
            Pola naskh telah membangun pemahaman tentang proses tashri’ (penetapan dan penerapan hukum) Islam sejalan dengan dinamika kebutuhan masyarakatnya yang selalu berubah. Maka jika konsep dasar teks adalah wahyu yang berangkat dari batas-batas konsep realitas, tentunya dalam perkembangannya teks sangat memperhatikan realitas tersebut.[27]
            Sayyid Qutb menggunakan dua terma dalam konsep naskh ; ta’dil (pengalihan) dan naskh (penghapusan). Dengan naskh, pertama; lebih digunakan untuk menunjukkan naskh ketentuan hukum ayat al-Qur’an dengan ketentuan hukum ayat al-Qur’an yang lain, sedangkan kedua; untuk naskh yang lainnya, yakni : penghapusan hukum tasyri’ yang tidak sesame al-Qur’an, penghapusan syari’at terdahulu dan penghapusan hukum takwini. Dengan ta’dil, ia melihat naskh tidak sampai berakibat pada hapus dan disfungsinya ketentuan hukum pertama oleh ketentuan hukum kedua. Ketentuan hukum ayat pertama masih berlaku, meski tidak lagi sepenuhnya.[28]
Pada pola hubungan yang terjadi secara dialektis antara proses pewahyuan, bahasa, subtansi teks dengan lokus-tempus audiens yang menerimanya tersebut, menurut esack, melahirkan cara pandang baru pada proses pewahyuan al-qur’an yang disebut dengan “pewahyuan progresif”. Berdasarkan pandangan ini, maka pada dasarnya sebuah teks kitab suci selalu hadir dan menyapa umatnya dalam konteks particular (terbatas secara linguistic, geografis, situasional, dan kontekstual) atau dalam istilah tradisi klasik dikenal dengan asbab an-nuzul dan naskh wa an-nuzul.[29]
            Konsep naskh menurut Abdulloh Saeed juga mengidindikasikan fleksibilitas sejalan dengan perkembangan kebutuhan muslim dalam interpretasi dan penerapan al-Qur’an di berbagai waktu dan keadaan. Sejalan dengan perkembangan dan perubahan kebutuhan manusia, maka nash memberikan dasar yang kuat untuk melakukan reinprestasi dari berbagai teks al-Qur’an, khususnya di bidang ayat-ayat yang memuat ethico-hukum, dalam rangka memberikan pemahan terbaik terhadap al-Qur’an sesuai dengan kebutuhan umat Islam saat ini.Jadi inti gagasan naskh adalah pembangunan atau kemajuan dalamhukum yang dituangkan oleh al-Qur’an.[30] Sangat tepat apa yang dikemukakan oleh Imam Jalaluddin as-Suyuti dalam kitab al-Itqan fi Ulumul Qur’an bahwa “seseorang tidak akan dapat menafsirkan al-Qur’an dengan baik tanpa mengetahui nasakh mansukh.”
Secara umum maqoshid al-tasyri’ adalah untuk kemaslahatan manusia.Maka dalam pembentukan kemaslahatan manusia tidak dapat dielakkan adanya nasakh mansukh terhadap beberapa hukum terdahulu dan diganti dengan hukum yang sesuai dengan tuntutan realitas zaman, waktu dan kemaslahatan manusia. Proses serupa ini disebut dengan nasakh mansukh.[31] Di sini dapat dipahami bahwa nasakh mansukh terjadi karena al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang mengiringinya
Kesimpulan
Dari pemaparan diatas, dapat ketahui bahwasanya al-Qur'an merupakan  kesatuan  utuh, Tak  ada  pertentangan  satu  dengan  lainnya. Adanya nasikh-mansukh  tidak  dapat  dipisahkan  dari  sifat turunnya   al-Qur'an  itu  sendiri  dan  tujuan  yang  ingin dicapainya. Ada dua pendapat para ulama tentang teori nasikh-mansukh yaitu ada yang mendukung atau setuju dan ada yang menolak atau tidak setuju jika terdapat nasikh dan mansukh didalam al-Quran.
Pentingnya mempelajari nasikh dan mansukh adalah  untuk mengetahui proses tasyri’ (penetapan dan penerapan hukum) Islam dan untuk menelusuri tujuan ajaran, serta illat hukum (alasan ditetapkannya suatu hukum).
 

Bibliografi
al-Qadrawi, Yusuf.  fiqih taysir. Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2001.
Anwar, Abu. Ulumul Qur’an. Yogyakarta : Amzah, 2002.
Arif, Mahmud. study al-Qur’an kontemporer. Yogyakarta : PT. Tiara Wacana, 2002.
as-Suyuthi, Imam jalaluddin. samudera ulumul qur’an (al-Itqan fi ulumil qur’an). Surabaya : PT. Bina Ilmu, 2007.
Ash Shiddieqy, Hasby. Ilmu-Ilmu al-Qur’an; Media-media pokok dalam menafsirkan al-Qur’an.Jakarta : Bulan Bintang, 1972.
Az-Zuhaili, Wahbah. Usul al-Fiqh al-Islami. Beirut : Dar al-Fikr, 1993.
Chirzin, Muhammad. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Jakarta : PT. Dana Bakti Prima Yasa. 1998.
Izzan, Ahmad. Ulumul Qur’an. Bandung : Tafakkur, 2009.
Marzuki, Kamaluddin. ulum al-Qur’an. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1992.
Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu ushul fikih.jakarta : PT. Rineka Cipta, 1993.
Shihab, Qurasy. Membumikan al-Qur’an.Bandung : Mizan, 1999.
Taufiq Dina Amal dan Syamsul Rizal Panggabean. Tafsir kontekstual Al-Quran.  Bandung: Mizan, 1989.
Tim penyusun MKD IAIN sunan ampel Surabaya. study al-Qur’an.Surabaya : IAIN SA Press, 2012.
Zainu, Syaikh Muhammad jamil. bagaimana memahami al-Qur’an. Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2006.


[1] 'Abdullah Daraz, al-Naba’ al-‘Azim (Quwait: Dar al-Qalam), 12.
[2] Yusuf al-Qadrawi, fiqih taysir  (Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2001 ), 41.
[3]Taufiq Dina Amal dan Syamsul Rizal Panggabean, Tafsir kontekstual Al-Quran (Bandung, Mizan, 1989), 29.
[4] Syaikh Muhammad jamil zainu, bagaimana memahami al-Qur’an ( Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2006), 31.
[5] Tim penyusun MKD IAIN sunan ampel Surabaya, study al-Qur’an (Surabaya : IAIN SA Press, 2012), 120.
[6] Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an  ( Bandung : Mizan, 2001), 144.
[7] Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an ………….., hal 144.
[8] Syekh abdul wahab khallaf,  Ilmu ushul fikih (jakarta : PT. Rineka Cipta, 1993), 282.
[9] Wahbah az-zuhaili, ushul al-fiqih al-Islam (Beirut :Dar al-fikri, 1986), 931.
[10] Tim penyusun MKD IAIN sunan ampel Surabaya, study al-Qur’an…………., hal 126.
[11] Tim penyusun MKD IAIN sunan ampel Surabaya, study al-Qur’an……….., hal 145.
[12] Mustafa Zayd, al-Naskh fi al-Qur’an al-Karim (Beirut: Dar al-Fikr, 1971),167.
[13] Syekh abdul wahab khallaf, Ilmu ushul fikih…………….., hal 222.
[14] Abu Anwar, Ulumul Qur’an (Yogyakarta : Amzah, 2002), 53.
[15] Abu Anwar, Ulumul Qur’an………….., hal  57.
[16] Imam jalaluddin as-Suyuthi, samudera ulumul qur’an (al-Itqan fi ulumil qur’an), (Surabaya : Pt. Bina Ilmu, 2007), 88.
[17] Abu Anwar, Ulumul Qur’an………….., hal 53.
[18] Kamaluddin marzuki, ulum al-Qur’an (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1992), 141.
[19] Ahmad Izzan, Ulumul Qur’an (Bandung : Tafakkur, 2009), 187.
[20] Tim penyusun MKD IAIN sunan ampel Surabaya, study al-Qur’an…………, hal 138.
[21] Tim penyusun MKD IAIN sunan ampel Surabaya, study al-Qur’an…………., hal 139.
[22] Abu Anwar, Ulumul Qur’an……….., hal 56.
[23] Abu Anwar, Ulumul Qur’an……….., hal 55.
[24]Ahmad Izzan, Ulumul Qur’an……….., ha 188.
[25] Muhammad Chirzin, al-Qur’an dan Ulumul Qur’an (Jakarta : PT. Dana Bakti Prima Yasa, 1998),44.
[26] Hasby ash Shiddieqy, Ilmu-Ilmu al-Qur’an, media pokok dalam menafsirkan al-Qur’an ( Jakarta ; Bulan Bintang, 1972), 150.
[27]Tim penyusun MKD IAIN sunan ampel Surabaya, study al-Qur’an..........., hal 162.
[28] Mahmud Arif, study al-Qur’an kontemporer (Yogyakarta : PT. Tiara Wacana, 2002), 116.
[29] Tim penyusun MKD IAIN sunan ampel Surabaya, study al-Qur’an………., hal 162.
[30] Tim penyusun MKD IAIN sunan ampel Surabaya, study al-Qur’an………., hal 162.
[31] Abu Anwar, Ulumul Qur’an……….., hal  47.

0 komentar:

Posting Komentar