Oleh Burhanuddin Sudrajat
A. Pendahuluan
Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan Allah kepada
nabi Muhammad melalui malaikat Jibril, untuk disampaikan kepada umat Islam, dan
al-Qur’an adalah sebagai pedoman aturan kehidupan bagi umat Islam yang bersifat
historis dan normatif.
Ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat historis dan
normatif tidak semua dapat dipahami
secara tekstual saja, karena banyak dari ayat-ayat al-Quran yang masih
mempunyai makna yang luas (abstrak) dan perlu untuk ditafsirkan lebih dalam,
agar dapat diambil sebuah hukum ataupun hikamah yang dapat dipahami dan
diamalkan oleh seluruh Manusia secara umum dan umat Islam secara khusus.
Al-Qur’an juga sebagai aturan yang menjadi
penentu dasar sikap hidup manusia, dan membutuhkan penjelasan-penjelasan yang
lebih mendetail, karena pada zaman sekarang banyak permasalahan-permasalahan
yang komplek, dan tentunya tidak sama dengan permasalahan-permasalahan yang ada
pada zaman nabi Muhammad SAW.
Tafsir al-Qur’an yang dianggap mampu menjadi solusi dari kondisi
di atas mengalami perkembangan yang luar biasa. Ahli tafsir dengan berbekalkan
keilmuannya mengembangkan metode tafsir al-Qur’an secara berkesinambungan untuk
melengkapi kekurangan atau mengantisipasi penyelewengan ataupun menganalisa
lebih mendalam tafsir yang sudah ada (tentunya tanpa mengesampingkan asbab
al-nuzul, nasikh wa mansukh, qira’at, muhkamat mutashabihat, ‘am wa khash,
makkiyat madaniyat,
dan lain-lain).
Tipologi tafsir berkembang terus dari waktu ke waktu
sesuai dengan tuntutan dan kontek zaman, dimulai dari tafsir bi al-ma’tsur
atau tafsir riwayat berkembang ke arah tafsir bi al-ra’yi. Tafsir
bi al-ma’tsur menggunakan nash dalam menafsirkan Al-Qur’an,
sementara tafsir bi al-ra’yi lebih mengandalkan ijtihad dengan akal. Sedangkan berdasarkan
metode terbagi menjadi: tafsir tahlili, tafsir maudhu’i, tafsir ijmali dan tafsir muqaran.
Tafsir maudhu’i atau tematik adalah tafsir
berperan sangat penting khususnya pada zaman sekarang, karena tafsir maudhu’i
dirasa sangat sesuai dengan kebutuhan manusia dan mampu menjawab permasalahan
yang ada.
Tafsir maudhu’i atau tematik ada berdasar surah
al-Qur’an ada berdasar subjek atau topik. Dengan adanya pemaparan di atas,
penulis menganggap tafsir tematik adalah topik
yang menarik untuk dibahas, maka dari itu penulis menjadikan tafsir maudhu’i sebagai topik pembahasan dalam makalah ini.
B. Pembahasan
1.
Pengertian
Metode Tafsir
Kata “metode” berasal dari
bahasa Yunani “methodos”, yang berarti cara atau jalan.[1]
Dalam bahasa Inggris, kata itu ditulis “method”, dan bahasa Arab
menerjemahkannya dengan thariqat dan manhaj. Sedangkan dalam
bahasa Indonesia, kata tersebut mengandung arti: “cara yang teratur dan
berpikir baik-baik untuk mencapai maksud dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya
atau cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan sesuatu kegiatan
guna mencapai suatu tujuan yang ditentukan.[2]
Metode digunakan untuk berbagai
objek, baik berhubungan dengan suatu pembahasan atau suatu masalah, berhubungan
dengan pemikiran, maupun penalaran akal, atau pekerjaan fisik pun tidak terlepas dari suatu
metode. Dengan demikian metode merupakan salah satu sarana untuk mencapai suatu
tujuan yang telah direncanakan. Dalam kaitan ini, studi tafsir al-Qur’an tidak
lepas dari metode, yakni suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk
mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam
ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. Metode tafsir al-Qur’an
berisi seperangkat kaidah atau aturan yang harus diperhatikan ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.
Maka, apabila seseorang menafsirkan ayat al-Qur’an tanpa menggunakan metode,
tentu tidak mustahil ia akan keliru dalam penafsirannya. Tafsir serupa ini
disebut tafsir bi al-ra’y al-mahdh (tafsir berdasarkan pikiran).[3]
Ada dua istilah yang sering
digunakan yaitu: metodologi tafsir dan metode tafsir. Kita dapat membedakan
antara dua istilah tersebut, yakni: “metode tafsir, yaitu cara-cara yang
digunakan untuk menafsirkan al-Qur’an, sedangkan metodologi tafsir yaitu ilmu
tentang cara tersebut. Maka pembahasan teoritis dan ilmiah mengenai metode muqarin
(perbadingan), misalnya disebut analisis metodologis, sedangkan jika pembahasan
itu berkaitan dengan cara penerapan metode terhadap ayat-ayat al-Qur’an, disebut pembahasan
metodik. Sedangkan cara menyajikan atau memformulasikan tafsir tersebut
dinamakan teknik atau seni penafisran”. Maka metode tafsir merupakan kerangka
atau kaidah yang digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan seni atau
teknik ialah cara yang dipakai ketika menerapkan kaidah yang telah tertuang di
dalam metode, sedangkan metodologi tafsir ialah pembahasan ilmiah tentang
metode-metode penafsiran al-Qur’an.[4]
Seorang mufassir dalam menafsirkan
al-Qur’an tentu akan menggunakan corak atau warna tertentu dari penafsiran itu
sendiri, misalnya seorang filosof dalam menafsirkan suatu ayat al-Qur’an tentu
banyak dipengaruhi oleh corak atau warna menafsirkan dengan menggunakan rasio.
Seorang sufi akan menafsirkan ayat al-Qur’an dengan corak tasawuf.[5]
Jadi dapat dikatakan bahwa, argumen-argumen seorang mufassir yang digunakan
dalam menafsirkan al-Qur’an mengandung corak atau warna tertentu, sehingga
seorang mufassir akan menentukan corak atau warna tafsirnya.
2.
Pengertian
Tafsir Maudhu’i
Secara etimologi tafsir berarti, menyikap
maksud dari suatu lafal yang sulit untuk difahami.[6]
Menurut Manna’ Khalil al-Qathan pengertian etimologinya adalah menjelaskan,
menyikap dan menerangkan makna yang abstrak.[7]
Sedangkan secara bahasa kata maudhu’i
berasal dari kata موضوع yang merupakan isim maf’ul dari kata وضع yang artinya
masalah atau pokok pembicaraan,[8]
yang berkaitan dengan aspek-aspek kehidupan manusia yang dibentangkan ayat-ayat
al-Qur’an.[9]
Menurut al-Farmawi bahwa dalam
membahas suatu tema, diharuskan untuk mengumpulkan seluruh ayat yang menyangkut
tema itu. Namun demikian, bila hal itu sulit dilakukan, dipandang memadai
dengan menyeleksi ayat-ayat yang mewakili (representatif).[10]
Defenisi di atas dapat difahami
bahwa sentral dari metode tafsir maudhu’i adalah
menjelaskan ayat-ayat yang terhimpun dalam satu tema dengan memperhatikan
urutan tertib turunnya ayat tersebut, sebab turunnya, korelasi antara satu ayat
dengan ayat yang lain dan hal-hal lain yang dapat membantu memahami ayat lalu
menganalisnaya secara cermat dan menyeluruh.
3.
Sejarah Tafsir Maudhu’i
Dasar-dasar tafsir maudhu’i
telah dimulai oleh Nabi Muhammad SAW sendiri ketika menafsirkan ayat dengan
ayat, yang kemudian dikenal dengan nama tafsir bi al-ma’sur. Seperti yang dikemukakan oleh
al-Farmawi bahwa semua penafsiran ayat dengan ayat bisa dipandang sebagai
tafsir maudhu’i dalam bentuk awal. Menurut Quraish Shihab, tafsir
tematik berdasarkan surat digagas pertama kali oleh seorang guru besar jurusan
Tafsir, fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, Syaikh Mahmud Syaltut, pada
Januari 1960. Karya ini termuat dalam kitabnya, Tafsir al-Qur’an al-Karim.
Sedangkan tafsir maudhu‘i
berdasarkan subjek digagas pertama kali oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid al-Kumiy,
seorang guru besar di institusi yang sama dengan Syaikh Mahmud Syaltut, jurusan
Tafsir, fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, dan menjadi ketua jurusan
Tafsir sampai tahun 1981. Model tafsir ini digagas pada tahun seribu sembilan
ratus enam puluhan. Buah dari tafsir model ini menurut Quraish Shihab di
antaranya adalah karya-karya Abbas Mahmud al-Aqqad: al-Insan fî al-Qur’an,al-Mar’ah
fî al-Qur’an, dan karya Abul A’la al-Maududi: al-Riba fî al-Qur’an.[11]
Kaitannya dengan tafsir tematik
berdasar surat al-Qur’an, Zarkashi (745-794 H/1344-1392 M), dengan karyanya al-Burhan,[12]
misalnya adalah salah satu contoh yang paling awal yang menekankan pentingnya
tafsir yang menekankan bahasan surat demi surat. Demikian juga Suyuti (w. 911 H/1505
M) dalam karyanya al-Itqan.[13]
Karena itu, meskipun tidak fenomena
umum, tafsir tematik sudah diperkenalkan sejak sejarah awal tafsir. Lebih jauh,
perumusan konsep ini secara metodologis dan sistematis berkembang di masa
kontemporer. Demikian juga jumlahnya semakin bertambah di awal abad ke 20, baik
tematik berdasarkan surat al-Qur’an maupun tematik berdasar subyek ataupun topik.
4.
Pembagian Tafsir Maudhu’i
a) Mengkaji sebuah
surat dengan kajian universal (tidak parsial), yang di dalamnya dikemukakan
misi awalnya, lalu misi utamanya, serta kaitan antara satu bagian surat dan
bagian lain, sehingga wajah surat itu mirip seperti bentuk yang sempurna dan
saling melengkapi. Contoh:
الْحَمْدُ
لِلَّهِ الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَلَهُ الْحَمْدُ فِي
الآخِرَةِ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ (١)يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الأرْضِ وَمَا
يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ الرَّحِيمُ
الْغَفُورُ (٢)
Artinya:
“Segala
puji bagi Allah yang memiliki apa yang di langit dan apa yang di bumi dan
bagi-Nya (pula) segala puji di akhirat. Dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi
Maha Mengetahui Dia
mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, apa yang ke luar daripadanya, apa yang
turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia-lah Yang Maha Penyayang
lagi Maha Pengampun.” (Q.S: Saba:1-2).
Di Al-Qur’an surat saba’: 1-2 ini diawali pujian bagi Allah dengan
menyebutkan kekuasaan-Nya. Setelah itu, mengemukakan pengetahuan-Nya yang
universal, kekuasaan-Nya yang menyeluruh pada kehendak-Nya yang bijak.
b) Menghimpun seluruh ayat Al-qur’an yang berbicara tentang
tema yang sama. Semuanya diletakkan dibawah satu judul, lalu ditafsirkan dengan
metode maudhu’i.
Contohnya: Allah
SWT, berfirman:
فَتَلَقَّى
آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
(٣٧)
Artinya:
“Kemudian Adam
menerima beberapa kalimat dan tuhannya , maka Allah menerima taubatnya,
sesungguhnya Allah maha penerima tobat lagi maha penyayang.” (Q.S: al-Baqarah: 37).
Untuk menjelaskan kata ‘kalimat’
pada firman Allah di
atas, nabi mengemukakan ayat, Sebagai berikut:
قَالا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ
لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Artinya: “keduanya berkata: ya Tuhan kami,
kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika engkau tidak mengampuni
rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang merugi.” (Q.S: al-A‘raf: 23).
5.
Langkah-langkah
Tafsir Maudhu’i
Langkah-langkah metode tafsir maudhu’i baru dimunculkan
pada akhir tahun 1960 oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid Al-Kumiy[14]
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a) Memilih atau menetapkan masalah al-Qur'an yang akan
dikaji secara maudhu’i (tematik).
b) Menghimpun seluruh ayat al-quran yang terdapat pada
seluruh surat al-Qur'an yang berkaitan dan berbicara tentang tema yang hendak
dikaji, baik surat makkiyyat atau surat madaniyyat.
c) Menentukan urutan ayat-ayat yang dihimpun itu sesuai
dengan masa turunnya dan mengemukakan sebab-sebab turunnya jika hal itu
dimungkinkan (artinya, jika ayat-ayat itu turun karena sebab-sebab tertentu).
d) Menjelaskan munasabah (relevansi) antara ayat-ayat
itu pada masing-masing suratnya dan kaitan antara ayat-ayat itu dengan
ayat-ayat sebelum dan sesudahnya pada masing-masing suratnya (dianjurkan untuk
melihat kembali pada tafsir tahlily).
e) Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas,
sistematis, sempurna, dan utuh (outline) yang mencakup semua segi dari tema
kajian.
f) Mengemukakan hadith-hadith Rasulullah SAW yang berbicara
tentang tema kajian serta men-takhrij dan menerangkan derajat
hadith-hadith itu untuk lebih meyakinkan kepada orang lain yang mempelajari
tema itu. Dikemukakan pula riwayat-riwayat (athar) dari para sahabat dan
tabi’in.
g) Merujuk kepada kalam (ungkapan-ungkapan bangsa) Arab dan shair-shair
mereka dalam menjelaskan lafaz-lafaz yang terdapat pada ayat-ayat yang
berbicara tentang tema kajian dan dalam menjelaskan makna-maknanya.
h) Mempelajari ayat-ayat tersebut secara maudu’i dan
menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa,
mengkompromikan pengertian antara yang ‘am dan khas, antara yang mutlaq
dan muqayyad, mengsinkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak
kontradiktif, menjelaskan ayat yang nasikh dan mansukh, sehingga
semua ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi
atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna-makna yang
sebenarnya tidak tepat.
Sedangkan yang melakukan tafsir maudu’i dengan surat persurat
menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:
a)
Mengambil satu surat dan menjelaskan masalah-masalah yang
berhubungan dengan surat tersebut, sebab-sebab turunnya dan bagaimana surat itu
diturunkan (permulaan, pertengahan ataupun akhir, madaniyat atau makkiyat,
dan hadith-hadith yang menerangkan keistimewaanya).
b)
Menyampaikan pengertian dari tujuan mendasar dalam surat dan
membahas mengenai terjadinya nama surat itu.
c)
Membagi surat (khusus untuk surat yang panjang) kepada
bagian-bagian yang lebih kecil, menerangkan unsur-unsurnya (meliputi ‘am
khas-nya,
nasikh mansukh-nya,
lafaz-nya
dalam bahasa Arab dan lain-lain) dan tujuan masing-masing bagian serta
menetapkan kesimpulan dari bagian tersebut.
d)
Menghubungkan keterangan atau kesimpulan dari masing-masing
bagian kecil tersebut dan menerangkan pokok tujuannya.[15]
C. Kesimpulan
Perkembangan
studi tentang al-Qur'an, yang bertujuan untuk menggali isi dan maksud dari
al-Qur'an sebagai pedoman dan aturan hidup manusia. Ternyata sudah berlangsung
berabad-abad dan terus saja berkelanjutan sampai sekarang ini.
Tafsir maudhu’i sebagai metode terbaru, ternyata lebih
relevan mengantarkan kita untuk mendapatkan solusi yang diperlukan bagi masalah-masalah praktis
di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, hasil tafsir ini memberikan
kemungkinan bagi kita untuk menjawab tantangan hidup yang selalu berubah dan
berkembang.
DAFTAR PUSTAKA
Akrom, Ahmad. Sejarah dan Metodologi Tafsir, terjemah
dari: Ali Hasan Aridl. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994.
Baidan, Nushruddin. Metodologi Penafsiran
al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Pelajar, 1988.
Farmawi al, Abd al-Hayy. al-Bidayah fi al-Tafsir
al-Maudhu’i, Kairo: Matba’ah al-Hadarah al`Arabiyah, 1977.
Hassan, Fuad, dan Koentjaraningrat. Beberapa Asas
Metodologi Ilmiah, dalam Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian
Masyarakat, Jakarta: Gramedia,
1977.
Ibn Manzhur, Jamaluddin. Lisan Arab, Beirut:
Dar al-Fikr, 1992.
Khalil, Qaththan, Manna. Mabahis Fiy ‘Ulum
al-Quran, Beirut: Mansyurat al-Ashr al Hadis, tt.
Muslim, Mustofa. Mabahith fi at-Tafsir al-Madu’i, Damaskus: Dar al-Qalam, 1989.
Muslim, Musthafa. Mabahis Fiy al-Tafsir
al-Maudhu’i, Damaskus: Dar al-Qalam, 1997.
Sanaky, Hujair A.H. Metode Tafsir (Perkembangan
Metode Tafsir Mengikuti Warna Atau Corak Mufassirin), Edisi Ke-XVIII, Al-Mawarid,
2008.
Shihab, Quraish, M. Membumikan al-Quran, cet.
Ke-XIX, Bandung: Mizan, 1999.
Suyuti, Jalal al-Din. al-Itqan fi‘Ulum al-Qur`an.
Kairo: Dar al-Turath, 1985.
Tim Penyusun. Kamus Bahasa Indonesia, cet.
Ke-I, Jakarta: Balai Pustaka, 1988.
Warson, Munawir, Ahmad. al-Munawwir Kamus Arab –
Indonesia, Surabaya: Pustaka Progesif, 1987.
Zarkashi, Muhammad. al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur`an,
Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1988.
[1] Fuad Hassan dan
Koentjaraningrat, Beberapa Asas Metodologi Ilmiah, dalam
Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1977) hlm. 16
[2] Tim Penyusun, Kamus Bahasa
Indonesia, cet. Ke-I, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988) hlm. 580-581
[3] Nushruddin Baidan, Metodologi
Penafsiran al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Pelajar 1988) hlm. 2
[4] Nushruddin Baidan, Metodologi
Penafsiran al-Qur’an, hlm. 1-2
[5] Hujair A.H. Sanaky, Metode
Tafsir (perkembangan metode tafsir mengikuti warna atau corak mufassirin),
Edisi Ke-XVIII, (Al-Mawarid, 2008) hlm. 4
[6] Jamaluddin Ibn Manzhur, Lisan
Arab, Juz X (Beirut: Dar al-Fikr, 1992) hlm. 26
[7] Manna Khalil al-Qaththan,
Mabahis Fiy ‘Ulum al-Quran, (Beirut: Mansyurat al-Ashr al Hadis, tt) hlm.
323
[8] Ahmad Warson Munawir, al-Munawwir
Kamus Arab – Indonesia (Surabaya: Pustaka Progesif, 1987) hlm. 1565
[9] Musthafa Muslim, Mabahis Fiy
al-Tafsir al-Maudhu’I, ( Damaskus: Dar al-Qalam, 1997) hlm. 16
[10] al-Farmawi, Abd al-Hayy, al-Bidayah.fi
al-Tafsir al-Maudhu’i, (Kairo: Matba’ah al-Hadarah al`Arabiyah, 1977) hlm.
62
[11] M. Quraish Shihab, Membumikan
al-Quran, Cet. Ke-XIX, (Bandung: Mizan, 1999) hlm.114
[12] Badr al-Din Muhammad
al-Zarkashi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur`an, Juz I, (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 1988 M) hlm. 61-72.
[13] Jalal al-Din al-Suyuti, al-Itqan
fi‘Ulum al-Qur`an, Juz II, (Kairo: Dar al-Turath, 1985 M) hlm. 159-161
[14]Ali
Hasan Al-Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, edisi terjemah, Ahmad Akrom,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994) hlm. 87
Kami menawarkan sebuah metode tafsir dengan menggunakan panduan bentuk geometri Ka’bah dan pola susunan ayat Al Qur’an dalam tulisan berjudul : Manhaj Al BAit Al Atiq, pada : http://www.polaruangalquran.blogspot.com